KISAH USAMAH BIN ZAID PEMIMPIN MUDA
Para sahabat tidak merasa aneh bila Rasulullah bersuka-cita dengan
kelahiran bayi yang baru itu. Karena, mereka mengetahui kedudukan kedua
orang tuanya di sisi Rasulullah. Ibu bayi tersebut seorang wanita Habsyi
yang diberkati, terkenal dengan panggilan “Ummu Aiman”. Sesungguhnya
Ummu Aiman adalah bekas sahaya ibunda Rasulullah Aminah binti Wahab.
Dialah yang mengasuh Rasulullah waktu kecil, selagi ibundanya masih
hidup. Dia pulalah yang merawat sesudah ibunda wafat. Karena itu, dalam
kehidupan Rasulullah, beliau hampir tidak mengenal ibunda yang mulia,
selain Ummu Aiman.
Rasulullah menyayangi Ummu Aiman, sebagaimana layaknya sayangnya seroang anak kepada ibunya. Beliau sering berucap, “Ummu Aiman adalah ibuku satu-satunya sesudah ibunda yang mulia wafat, dan satu-satunya keluargaku yang masih ada.” Itulah ibu bayi yang beruntung ini.
Adapun bapaknya adalah kesayangan ) Rasulullah, Zaid bin Haritsah. Rasulullah pernah mengangkat Zaid sebagai anak angkatnya sebelum ia memeluk Islam. Dia menjadi sahabat beliau dan tempat mempercayakan segala rahasia. Dia menjadi salah seorang anggota keluarga dalam rumah tangga beliau dan orang yang sangat dikasihi dalam Islam.
Kegembiraan Kaum Muslimin dan Sayangnya Rasulullah SAW kepada Usamah
Kaum muslimin turut bergembira dengan kelahiran Usamah bin Zaid, melebihi kegembiraan meraka atas kelahiran bayi-bayi lainnya. Hal itu bisa terjadi karena tiap-tiap sesuatu yang disukai Rasulullah juga mereka sukai. Bila beliau bergembira mereka pun turut bergembira. Bayi yang sangat beruntung itu mereka panggil “Al-Hibb wa Ibnil Hibb” (kesayangan anak kesayangan).
Kaum muslimin tidak berlebih-lebihan memanggil Usamah yang masih bayi itu dengap panggilan tersebut. Karena, Rasulullah memang sangat menyayangi Usamah sehingga dunia seluruhnya agaknya iri hati. Usamah sebaya dengan cucu Rasulullah, Hasan bin Fatimah az-Zahra. Hasan berkulit putih tampan bagaikan bunga yang mengagumkan. Dia sangat mirip dengan kakeknya, Rasulullah saw.
Usamah kulitnya hitam, hidungnya pesek, sangat mirip dengan ibunya wanita Habsyi. Namun, kasih sayang Rasulullah kepada keduanya tiada berbeda. Beliau sering mengambil Usamah, lalu meletakkan di salah satu pahanya. Kemudian, diambilnya pula Hasan, dan diletakkannya di paha yang satunya lagi. Kemudian, kedua anak itu dirangkul bersama-sama ke dadanya, seraya berkata, “Wahai Allah, saya menyayangi kedua anak ini, maka sayangi pulalah mereka!”
Begitu sayangnya Rasulullah kepada Usamah, pada suatu kali Usamah tersandung pintu sehingga keningnya luka dan berdarah. Rasulullah menyuruh Aisyah membersihkan darah dari luka Usamah, tetapi tidak mampu melakukannya. Karena itu, beliau berdiri mendapatkan Usamah, lalu beliau isap darah yang keluar dari lukanya dan ludahkan. Sesudah itu, beliau bujuk Usamah dengan kata-kata manis yang menyenangkan hingga hatinya merasa tenteram kembali.
Sebagaimana Rasulullah menyayangi Usamah waktu kecil, tatkala sudah besar beliau juga tetap menyayanginya. Hakim bin Hazam, seorang pemimpin Qurasy, pernah menghadiahkan pakaian mahal kepada Rasulullah. Hakam membeli pakaian itu di Yaman dengan harga lima puluh dinar emas dari Yazan, seorang pembesar Yaman. Rasulullah enggan menerima hadiah dari Hakam, sebab ketika itu dia masih musyrik. Lalu, pakaian itu dibeli oleh beliau dan hanya dipakainya sekali ketika hari Jumat. Pakaian itu kemudian diberikan kepada Usamah. Usamah senantiasa memakainya pagi dan petang di tengah-tengah para pemuda Muhajirin dan Anshar sebayanya.
Sejak Usamah meningkat remaja, sifat-sifat dan pekerti yang mulia sudah kelihatan pada dirinya, yang memang pantas menjadikannya sebagai kesayangan Rasulullah. Dia cerdik dan pintar, bijaksana dan pandai, takwa dan wara. Ia senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan tercela.
Dikisahkan bahwasanya pada suatu hari, terjadilah pencurian dimana pelakunya adalah seorang wanita ternama dari bangsa Quraisy, maka kaum Quraisy pun terlena, apa yang semestinya diputuskan terhadap wanita tersebut sedangkan hukuman untuk pencuri adalah potong tangan, kemudian mereka ingin menanyakan hal ini kepada Rasulullah SAW namun ketidak beranian yang mereka miliki membuat mereka mundur langkah dan maju langkah. hingga terbesitlah dihati salah satu diantara mereka bahwasanya orang yang paling berani untuk menanyakan hal ini adalah Usama, karena dia adalah orang yang paling dekat dan paling dikasihi oleh rasulullah saw.
dengan segera mereka menemuinya dan memintanya agar meminta keringanan kepada rasulullah saw terhadap wanita terseut. ketika Usama menceritakan hal ini kepada rasulullah saw, maka rasulullah bersabda:
Waktu terjadi Perang Uhud, Usamah bin Zaid datang ke hadapan Rasulullah saw. beserta serombongan anak-anak sebayanya, putra-putra para sahabat. Mereka ingin turut jihad fi sabilillah. Sebagian mereka diterima Rasulullah dan sebagian lagi ditolak karena usianya masih sangat muda. Usamah bin Zaid teramasuk kelompok anak-anak yang tidak diterima. Karena itu, Usama pulang sambil menangis. Dia sangat sedih karena tidak diperkenankan turut berperang di bawah bendera Rasulullah.
Usamah Dalam Perang Khandaq
Dalam Perang Khandaq, Usamah bin Zaid datang pula bersama kawan-kawan remaja, putra para sahabat. Usamah berdiri tegap di hadapan Rasulullah supaya kelihatan lebih tinggi, agar beliau memperkenankannya turut berperang. Rasulullah kasihan melihat Usamah yang keras hati ingin turut berperang. Karena itu, beliau mengizinkannya, Usamah pergi berperang menyandang pedang, jihad fi sabilillah. Ketika itu dia baru berusia lima belas tahun.
Usamah Dalam Perang Hunain
Ketika terjadi Perang Hunain, tentara muslimin terdesak sehingga barisannya menjadi kacau balau. Tetapi, Usamah bin Zaid tetap bertahan bersama-sama denga ‘Abbas (paman Rasulullah), Sufyan bin Harits (anak paman Usamah), dan enam orang lainnya dari para sahabat yang mulia. Dengah kelompok kecil ini, Rasulullah berhasil mengembalikan kekalahan para sahabatnya menjadi kemenangan. Beliau berhasil menyelematkan kaum muslimin yang lari dari kejaran kaum musyrikin.
Usamah Dalam Perang Mu’tah
Dalam Perang Mu’tah, Usamah turut berperang di bawah komando ayahnya, Zaid bin Haritsah. Ketika itu umurnya kira-kira delapan belas tahun. Usamah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tatkala ayahnya tewas di medan tempur sebagai syuhada. Tetapi, Usamah tidak takut dan tidak pula mundur. Bahkan, dia terus bertempur dengan gigih di bawah komando Ja’far bin Abi Thalib hingga Ja’far syahid di hadapan matanya pula. Usamah menyerbu di bawah komando Abdullah bin Rawahah hingga pahlawan ini gugur pula menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid. Kemudian, komando dipegang oleh Khalid bin Walid. Usamah bertempur di bawah komando Khalid. Dengan jumlah tentara yang tinggal sedikit, kaum muslimin akhirnya melepaskan diri dari cengkeraman tentara Rum.
Seusai peperangan, Usamah kembali ke Madinah dengan menyerahkan kematian ayahnya kepada Allah SWT. Jasad ayahnya ditinggalkan di bumi Syam (SYiria) dengan mengenang segala kebaikan almarhum.
Pengangkatan Usamah dalam Perang Melawan Romawi
Ketika Islam berjaya pada masa Rasulullah di Arab. Dengan suka rela, setiap insan yang mendengar seruan kalimat laa ilaha illallalah Muhammadur Rasulullah berbondong-bondong menyambutnya.
Wajah-wajah kusut yang semula diselimuti kabut kemusyrikan menjadi cerah disinari pancaran cahaya Ilahi. Tidak ketinggalan juga Farwah bin Umar Al-Judzami, kepala daerah Ma’an dan sekitarnya yang diangkat Kaisar Romawi. Mengetahui hal itu, para penguasa Romawi marah dan mereka segera menangkap Farwah dan menjebloskannya ke penjara. Selanjutnya, ia dibunuh dan kepalanya dipancung, lalu diletakkan di sebuah mata air bernama Arfa’ di Palestina. Mayatnya disalib untuk menakut-nakuti para penduduk agar tidak mengikuti jejaknya.
Mendengar desas-desus yang seolah menyepelekan kemampuan Usamah itu, Umar bin Khatthab segera menemui Rasulullah. Beliau sangat marah, lalu bergegas mengambil sorbannya dan keluar menemui para sahabat yang tengah berkumpul di Masjid Nabawi. Setelah memuji Allah dan mengucapkan syukur, beliau bersabda,
Rasulullah mengangkat Usamah bin Zaid yang muda remaja menjadi panglima seluruh pasukan yang akan diberangkatkan. Ketika itu usia Usamah belum melebihi dua puluh tahun. Beliau memerintahkan Usamah supaya berhenti di Balqa’ dan Qal’atut Daarum dekat Gazzah, termasuk wilayah kekuasaan Rum.
Setelah itu, beliau turun dari mimbar dan masuk ke rumahnya. Kaum muslimin pun beradatangan hendak berangkat bersama pasukan Usamah. Mereka menemui Rasulullah yang saat itu dalam keadaan sakit. Diantara mereka terdapat Ummu Aiman, ibu Usamah. “Wahai Rasulullah bukankah lebih baik, jika engkau biarkan Usamah menunggu sebentar di perkemahannya sampai engkau merasa sehat. Jika dipaksa berangkat sekarang, tentu dia tidak akan merasa tenang dalam perjalanannya,” ujarnya. Namun Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Biarkan Usamah berangkat sekarang juga.”
Kata Usamah, “Tatkala sakit Rasulullah bertambah berat, saya datang menghadap beliau diikuti orang banyak, setelah saya masuk, saya dapati beliau sedang diam tidak berkata-kata karena kerasnya sakit beliau. Tiba-tiba beliau mengangkat tangan dan meletakkannya ke tubuh saya. Saya tahu beliau memanggilku.”
Ketika Usamah mencium wajahnya, beliau tidak mengatakan apa-apa selain mengangkat kedua belah tanganya ke langit serta mengusap kepala Usamah, mendoakannya.
Sikap Khalifah Abu Bakar atas Adanya Usulan Penggantian Usamah
Usamah segera kembali ke pasukannya yang masih menunggu. Setelah semuanya lengkap, mereka mulai bergerak. Belum jauh pasukan itu meninggalkan Juraf, tempat markas perkemahan, datanglah utusan dari Ummu Aiman memberitahukan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam telah wafat. Usamah segera memberhentikan pasukannya. Bersama Umar bin Khatthab dan Abu Ubaidah bin Jarraf, ia segera menuju rumah Rasulullah. Sementara itu, tentara kaum muslimin yang bermarkas di Juraf membatalkan pemberangkatan dan kembali juga ke madinah.
Abu Bakar Shidiq terpilih dan dilantik menjadi khalifah. Khalifah Abu Bakar meneruskan pengiriman tentara di bawah pimpinan Usamah bin Zaid, sesuai dengan rencana yang telah digariskan Rasulullah. Tetapi, sekelompok kaum Anshar menghendaki supaya menangguhkan pemberangkatan pasukan. Mereka meminta Umar bin Khattab membicarakannya dengan Khalifah Abu Bakar. Abu Bakar segera memanggil Usamah untuk kembali memimpin pasukan, sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah sebelumnya. Tindakan Khalifah tentu saja mendapat reaksi dari beberapa sahabat. Apalagi saat itu beberapa kelompok kaum muslimin murtad dari agama Islam. Kota Madinah memerlukan penjagaan ketat.
Kata mereka, “Jika khalifah tetap berkeras hendak meneruskan pengiriman pasukan sebagaimana dikehendakinya, kami mengusulkan panglima pasukan (Usamah) yang masih muda remaja ditukar dengan tokoh yang lebih tua dan berpengalaman.”
Mendengar ucapan Umar yang menyampaikan usul dari kaum Anshar itu, Abu Bakar bangun menghampiri Umar seraya berkata dengan marah, “Hai putra Khattab! Rasulullah telah mengangkat Usamah. Engkau tahu itu. Kini engkau menyuruhku membatalkan putusan Rasululllah. Demi Allah, tidak ada cara begitu!”
Abu Bakar juga berkata, “Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, seandainya aku tahu akan dimakan binatang buas sekalipun, niscaya aku akan tetap mengutus pasukan ini ketujuannya. Aku yakin, mereka akan kembali dengan selamat. Bukankah Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam yang diberikan wahyu dari langit telah bersabda, “Berangkatkan segera pasukan Usamah!’
Tatkala Umar kembali kepada orang banyak, mereka menanyakan bagaimana hasil pembicaraannya dengan khalifah tentang usulnya. Kata Umar, “Setelah saya sampaikan usul kalian kepada Khalifah, belaiu menolak dan malahan saya kena marah. Saya dikatakan sok berani membatalkan keputusan Rasulullah.
Maka, pasukan tentara muslimin berangkat di bawah pimpinan panglima yang masih muda remaja, Usamah bin Zaid. Khalifah Abu Bakar turut mengantarkannya berjalan kaki, sedangkan Usamah menunggang kendaraan.
Kata Usamah, “Wahai Khalifah Rasulullah! Silakan Anda naik kendaraan. Biarlah saya turun dan berjalan kaki. “
Jawab Abu Bakar, “Demi Allah! jangan turun! Demi Allah! saya tidak hendak naik kendaraan! Biarlah kaki saya kotor, sementara mengantar engkau berjuang fisabilillah! Saya titipkan engkau, agama engkau, kesetiaan engkau, dan kesudahan perjuangan engkau kepada Allah. Saya berwasiat kepada engkau, laksanakan sebaik-baiknya segala perintah Rasulullah kepadamu!”
Kemudian dibalas oleh Usamah dengan jawaban yang penuh makna, “Aku menitipkan kepada Allah agamamu, amanatmu juga penghujung amalmu dan aku berwasiat kepadamu untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah.”
Kemudian, Khalifah Abu Bakar lebih mendekat kepada Usamah. Katanya, “Jika engkau setuju biarlah Umar tinggal bersama saya. Izinkanlah dia tinggal untuk membantu saya. Usamah kemudian mengizinkannya.
PADA tahun ke-11 Hijriah, Nabi Muhammad SAW membentuk pasukan untuk memerangi bala tentara Romawi. Sahabat-sahabat senior, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Saad bin Abi Waqqas, dan Abu Ubaidah bin Jarrah, masuk dalam pasukan tersebut.
Para sahabat menanti, siapakah yang akan diangkat Rasulullah SAW memimpin pasukan itu. Abu Bakar dan Umar lebih sering menjadi tangan kanan Rasulullah SAW.
Barang kali Nabi SAW akan menunjuk Saad atau Abu Ubaidah. Siapa pun di antara kedua sahabat itu adalah orang yang dikenal tangkas dan cakap berperang. Di luar dugaan, Nabi SAW justru memilih Usamah bin Zaid yang ketika itu baru berumur 18 tahun. Masih sangat muda.
Usamah lahir tujuh tahun sebelum hijrah. Bapaknya orang yang sangat disayangi Nabi SAW, yaitu Zaid bin Haritsah, yang pernah diangkat anak oleh Nabi SAW, sebelum dilarang oleh Allah SWT. Usamah sebaya dengan Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Bila Hasan duduk di paha Nabi SAW yang sebelah kanan, Usamah diletakkan di paha sebelah kiri. Rasulullah SAW sering berdoa untuk keduanya. ''Ya Allah, saya menyayangi kedua anak ini, maka sayangi pulalah mereka.''
Itulah Usamah bin Zaid, anak muda yang dipercaya Rasulullah SAW menjadi pemimpin pasukan. Rasulullah SAW memerintahkan kepada Usamah, kalau sudah berangkat nanti agar berhenti di Balqa' dan Qal'atud Darum dekat Gaza, yang waktu itu masuk wilayah kekuasaan Romawi Timur.
Sayang, tatkala bersiap-siap untuk berangkat, Rasulullah sakit. Semakin hari sakitnya bertambah berat. Akibatnya, keberangkatan pasukan ditunda. Tidak berapa lama kemudian Rasulullah SAW wafat.
Khalifah Abu Bakar memerintahkan pasukan Usamah segera berangkat melaksanakan perintah Rasulullah SAW. Namun, sekelompok kaum Anshar menghendaki agar pemberangkatan pasukan ditangguhkan.
Mereka meminta Umar bin Khattab yang menyampaikan usul itu kepada Abu Bakar. ''Jika Khalifah bersikeras tetap meneruskan mengirim pasukan, kami mengusulkan sebaiknya panglimanya diganti yang lebih senior dan berpengalaman.''
Usul itu ditolak Abu Bakar dengan tegas, ''Hai Putra Khattab, Rasulullah SAW telah mengangkat Usamah. Engkau tahu itu. Kini, engkau menyuruhku membatalkan putusan Rasulullah SAW. Demi Allah, tidak akan aku batalkan.''
Pasukan Usamah akhirnya dilepaskan. Abu Bakar turut mengantarkannya sambil berjalan kaki ke batas kota. Usamah, sebagai panglima duduk di atas kuda.
Usamah merasa bersalah duduk di atas punggung kuda, sementara khalifah berjalan kaki. Lalu beliau mengusulkan supaya Abu Bakar naik ke kendaraan dan dirinya berjalan kaki.
Tetapi, tawaran itu ditolak Abu Bakar. ''Biarlah kaki saya berdebu mengantar engkau berjuang pada jalan Allah. Laksanakanlah perintah Rasulullah SAW ini dengan sebaik-baiknya,'' ujar Abu Bakar.
Lalu, Abu Bakar mendekat kepada Usamah dan mengajukan sebuah permintaan. ''Jika engkau setuju, biarlah Umar tinggal bersama saya. Izinkanlah dia tinggal untuk membantu saya.''
Subhanallah. Betapa hormatnya Abu Bakar kepada Usamah bin Zaid sekalipun masih sangat muda, tetapi telah mendapatkan amanah dari Rasulullah SAW untuk memimpin pasukan.
Padahal, Abu Bakar seorang khalifah dan kepala negara. Tanpa izin Usamah pun beliau bisa saja meminta Umar tidak ikut pergi berperang.
Rasulullah menyayangi Ummu Aiman, sebagaimana layaknya sayangnya seroang anak kepada ibunya. Beliau sering berucap, “Ummu Aiman adalah ibuku satu-satunya sesudah ibunda yang mulia wafat, dan satu-satunya keluargaku yang masih ada.” Itulah ibu bayi yang beruntung ini.
Adapun bapaknya adalah kesayangan ) Rasulullah, Zaid bin Haritsah. Rasulullah pernah mengangkat Zaid sebagai anak angkatnya sebelum ia memeluk Islam. Dia menjadi sahabat beliau dan tempat mempercayakan segala rahasia. Dia menjadi salah seorang anggota keluarga dalam rumah tangga beliau dan orang yang sangat dikasihi dalam Islam.
Kegembiraan Kaum Muslimin dan Sayangnya Rasulullah SAW kepada Usamah
Kaum muslimin turut bergembira dengan kelahiran Usamah bin Zaid, melebihi kegembiraan meraka atas kelahiran bayi-bayi lainnya. Hal itu bisa terjadi karena tiap-tiap sesuatu yang disukai Rasulullah juga mereka sukai. Bila beliau bergembira mereka pun turut bergembira. Bayi yang sangat beruntung itu mereka panggil “Al-Hibb wa Ibnil Hibb” (kesayangan anak kesayangan).
Kaum muslimin tidak berlebih-lebihan memanggil Usamah yang masih bayi itu dengap panggilan tersebut. Karena, Rasulullah memang sangat menyayangi Usamah sehingga dunia seluruhnya agaknya iri hati. Usamah sebaya dengan cucu Rasulullah, Hasan bin Fatimah az-Zahra. Hasan berkulit putih tampan bagaikan bunga yang mengagumkan. Dia sangat mirip dengan kakeknya, Rasulullah saw.
Usamah kulitnya hitam, hidungnya pesek, sangat mirip dengan ibunya wanita Habsyi. Namun, kasih sayang Rasulullah kepada keduanya tiada berbeda. Beliau sering mengambil Usamah, lalu meletakkan di salah satu pahanya. Kemudian, diambilnya pula Hasan, dan diletakkannya di paha yang satunya lagi. Kemudian, kedua anak itu dirangkul bersama-sama ke dadanya, seraya berkata, “Wahai Allah, saya menyayangi kedua anak ini, maka sayangi pulalah mereka!”
Begitu sayangnya Rasulullah kepada Usamah, pada suatu kali Usamah tersandung pintu sehingga keningnya luka dan berdarah. Rasulullah menyuruh Aisyah membersihkan darah dari luka Usamah, tetapi tidak mampu melakukannya. Karena itu, beliau berdiri mendapatkan Usamah, lalu beliau isap darah yang keluar dari lukanya dan ludahkan. Sesudah itu, beliau bujuk Usamah dengan kata-kata manis yang menyenangkan hingga hatinya merasa tenteram kembali.
Sebagaimana Rasulullah menyayangi Usamah waktu kecil, tatkala sudah besar beliau juga tetap menyayanginya. Hakim bin Hazam, seorang pemimpin Qurasy, pernah menghadiahkan pakaian mahal kepada Rasulullah. Hakam membeli pakaian itu di Yaman dengan harga lima puluh dinar emas dari Yazan, seorang pembesar Yaman. Rasulullah enggan menerima hadiah dari Hakam, sebab ketika itu dia masih musyrik. Lalu, pakaian itu dibeli oleh beliau dan hanya dipakainya sekali ketika hari Jumat. Pakaian itu kemudian diberikan kepada Usamah. Usamah senantiasa memakainya pagi dan petang di tengah-tengah para pemuda Muhajirin dan Anshar sebayanya.
Sejak Usamah meningkat remaja, sifat-sifat dan pekerti yang mulia sudah kelihatan pada dirinya, yang memang pantas menjadikannya sebagai kesayangan Rasulullah. Dia cerdik dan pintar, bijaksana dan pandai, takwa dan wara. Ia senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan tercela.
Dikisahkan bahwasanya pada suatu hari, terjadilah pencurian dimana pelakunya adalah seorang wanita ternama dari bangsa Quraisy, maka kaum Quraisy pun terlena, apa yang semestinya diputuskan terhadap wanita tersebut sedangkan hukuman untuk pencuri adalah potong tangan, kemudian mereka ingin menanyakan hal ini kepada Rasulullah SAW namun ketidak beranian yang mereka miliki membuat mereka mundur langkah dan maju langkah. hingga terbesitlah dihati salah satu diantara mereka bahwasanya orang yang paling berani untuk menanyakan hal ini adalah Usama, karena dia adalah orang yang paling dekat dan paling dikasihi oleh rasulullah saw.
dengan segera mereka menemuinya dan memintanya agar meminta keringanan kepada rasulullah saw terhadap wanita terseut. ketika Usama menceritakan hal ini kepada rasulullah saw, maka rasulullah bersabda:
Janganlah engkau meminta keringanan dalam masalah hukum agama, sesungguhnya bangsa-bangsa terdahulu binasa karena hal itu, bila diantara mereka orang bangsawan mencuri maka mereka mengampuninya dan bila orang miskin yang mencuri maka ditegakkan hukum sebaik-baiknya dan sesungguhnya bila Fatimah Binti Muhammad mencuri niscaya saya akan memotong tangannya.Usamah Dalam Perang Uhud
Waktu terjadi Perang Uhud, Usamah bin Zaid datang ke hadapan Rasulullah saw. beserta serombongan anak-anak sebayanya, putra-putra para sahabat. Mereka ingin turut jihad fi sabilillah. Sebagian mereka diterima Rasulullah dan sebagian lagi ditolak karena usianya masih sangat muda. Usamah bin Zaid teramasuk kelompok anak-anak yang tidak diterima. Karena itu, Usama pulang sambil menangis. Dia sangat sedih karena tidak diperkenankan turut berperang di bawah bendera Rasulullah.
Usamah Dalam Perang Khandaq
Dalam Perang Khandaq, Usamah bin Zaid datang pula bersama kawan-kawan remaja, putra para sahabat. Usamah berdiri tegap di hadapan Rasulullah supaya kelihatan lebih tinggi, agar beliau memperkenankannya turut berperang. Rasulullah kasihan melihat Usamah yang keras hati ingin turut berperang. Karena itu, beliau mengizinkannya, Usamah pergi berperang menyandang pedang, jihad fi sabilillah. Ketika itu dia baru berusia lima belas tahun.
Usamah Dalam Perang Hunain
Ketika terjadi Perang Hunain, tentara muslimin terdesak sehingga barisannya menjadi kacau balau. Tetapi, Usamah bin Zaid tetap bertahan bersama-sama denga ‘Abbas (paman Rasulullah), Sufyan bin Harits (anak paman Usamah), dan enam orang lainnya dari para sahabat yang mulia. Dengah kelompok kecil ini, Rasulullah berhasil mengembalikan kekalahan para sahabatnya menjadi kemenangan. Beliau berhasil menyelematkan kaum muslimin yang lari dari kejaran kaum musyrikin.
Usamah Dalam Perang Mu’tah
Dalam Perang Mu’tah, Usamah turut berperang di bawah komando ayahnya, Zaid bin Haritsah. Ketika itu umurnya kira-kira delapan belas tahun. Usamah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tatkala ayahnya tewas di medan tempur sebagai syuhada. Tetapi, Usamah tidak takut dan tidak pula mundur. Bahkan, dia terus bertempur dengan gigih di bawah komando Ja’far bin Abi Thalib hingga Ja’far syahid di hadapan matanya pula. Usamah menyerbu di bawah komando Abdullah bin Rawahah hingga pahlawan ini gugur pula menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid. Kemudian, komando dipegang oleh Khalid bin Walid. Usamah bertempur di bawah komando Khalid. Dengan jumlah tentara yang tinggal sedikit, kaum muslimin akhirnya melepaskan diri dari cengkeraman tentara Rum.
Seusai peperangan, Usamah kembali ke Madinah dengan menyerahkan kematian ayahnya kepada Allah SWT. Jasad ayahnya ditinggalkan di bumi Syam (SYiria) dengan mengenang segala kebaikan almarhum.
Pengangkatan Usamah dalam Perang Melawan Romawi
Ketika Islam berjaya pada masa Rasulullah di Arab. Dengan suka rela, setiap insan yang mendengar seruan kalimat laa ilaha illallalah Muhammadur Rasulullah berbondong-bondong menyambutnya.
Wajah-wajah kusut yang semula diselimuti kabut kemusyrikan menjadi cerah disinari pancaran cahaya Ilahi. Tidak ketinggalan juga Farwah bin Umar Al-Judzami, kepala daerah Ma’an dan sekitarnya yang diangkat Kaisar Romawi. Mengetahui hal itu, para penguasa Romawi marah dan mereka segera menangkap Farwah dan menjebloskannya ke penjara. Selanjutnya, ia dibunuh dan kepalanya dipancung, lalu diletakkan di sebuah mata air bernama Arfa’ di Palestina. Mayatnya disalib untuk menakut-nakuti para penduduk agar tidak mengikuti jejaknya.
Mendengar desas-desus yang seolah menyepelekan kemampuan Usamah itu, Umar bin Khatthab segera menemui Rasulullah. Beliau sangat marah, lalu bergegas mengambil sorbannya dan keluar menemui para sahabat yang tengah berkumpul di Masjid Nabawi. Setelah memuji Allah dan mengucapkan syukur, beliau bersabda,
“Wahai sekalian manusia, saya mendengar pembicaraan mengenai pengangkatan Usamah, demi Allah, seandainya kalian menyangsikan kepemimpinannya, berarti kalian menyangsikan juga kepemimpinan ayahnya, Zaid bin Haritsah. Demi Allah, Zaid sangat pantas memegang kepemimpinan, begitu juga dengan putranya, Usamah. Kalau ayahnya sangat saya kasihi, maka putranya pun demikian. Mereka adalah orang yang baik. Hendaklah kalian memandang baik mereka berdua. Mereka juga adalah sebaik-baik manusia di antara kalian.”Pada tahun kesebelas hijriah Rasulullah menurunkan perintah agar menyiapkan bala tentara untuk memerangi pasukan Rum. Dalam pasukan itu terdapat antara lain Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, Sa’ad bin ABi Waqqas, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan lain-lain sahabat yang tua-tua.
Rasulullah mengangkat Usamah bin Zaid yang muda remaja menjadi panglima seluruh pasukan yang akan diberangkatkan. Ketika itu usia Usamah belum melebihi dua puluh tahun. Beliau memerintahkan Usamah supaya berhenti di Balqa’ dan Qal’atut Daarum dekat Gazzah, termasuk wilayah kekuasaan Rum.
Setelah itu, beliau turun dari mimbar dan masuk ke rumahnya. Kaum muslimin pun beradatangan hendak berangkat bersama pasukan Usamah. Mereka menemui Rasulullah yang saat itu dalam keadaan sakit. Diantara mereka terdapat Ummu Aiman, ibu Usamah. “Wahai Rasulullah bukankah lebih baik, jika engkau biarkan Usamah menunggu sebentar di perkemahannya sampai engkau merasa sehat. Jika dipaksa berangkat sekarang, tentu dia tidak akan merasa tenang dalam perjalanannya,” ujarnya. Namun Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Biarkan Usamah berangkat sekarang juga.”
Kata Usamah, “Tatkala sakit Rasulullah bertambah berat, saya datang menghadap beliau diikuti orang banyak, setelah saya masuk, saya dapati beliau sedang diam tidak berkata-kata karena kerasnya sakit beliau. Tiba-tiba beliau mengangkat tangan dan meletakkannya ke tubuh saya. Saya tahu beliau memanggilku.”
Ketika Usamah mencium wajahnya, beliau tidak mengatakan apa-apa selain mengangkat kedua belah tanganya ke langit serta mengusap kepala Usamah, mendoakannya.
Sikap Khalifah Abu Bakar atas Adanya Usulan Penggantian Usamah
Usamah segera kembali ke pasukannya yang masih menunggu. Setelah semuanya lengkap, mereka mulai bergerak. Belum jauh pasukan itu meninggalkan Juraf, tempat markas perkemahan, datanglah utusan dari Ummu Aiman memberitahukan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam telah wafat. Usamah segera memberhentikan pasukannya. Bersama Umar bin Khatthab dan Abu Ubaidah bin Jarraf, ia segera menuju rumah Rasulullah. Sementara itu, tentara kaum muslimin yang bermarkas di Juraf membatalkan pemberangkatan dan kembali juga ke madinah.
Abu Bakar Shidiq terpilih dan dilantik menjadi khalifah. Khalifah Abu Bakar meneruskan pengiriman tentara di bawah pimpinan Usamah bin Zaid, sesuai dengan rencana yang telah digariskan Rasulullah. Tetapi, sekelompok kaum Anshar menghendaki supaya menangguhkan pemberangkatan pasukan. Mereka meminta Umar bin Khattab membicarakannya dengan Khalifah Abu Bakar. Abu Bakar segera memanggil Usamah untuk kembali memimpin pasukan, sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah sebelumnya. Tindakan Khalifah tentu saja mendapat reaksi dari beberapa sahabat. Apalagi saat itu beberapa kelompok kaum muslimin murtad dari agama Islam. Kota Madinah memerlukan penjagaan ketat.
Kata mereka, “Jika khalifah tetap berkeras hendak meneruskan pengiriman pasukan sebagaimana dikehendakinya, kami mengusulkan panglima pasukan (Usamah) yang masih muda remaja ditukar dengan tokoh yang lebih tua dan berpengalaman.”
Mendengar ucapan Umar yang menyampaikan usul dari kaum Anshar itu, Abu Bakar bangun menghampiri Umar seraya berkata dengan marah, “Hai putra Khattab! Rasulullah telah mengangkat Usamah. Engkau tahu itu. Kini engkau menyuruhku membatalkan putusan Rasululllah. Demi Allah, tidak ada cara begitu!”
Abu Bakar juga berkata, “Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, seandainya aku tahu akan dimakan binatang buas sekalipun, niscaya aku akan tetap mengutus pasukan ini ketujuannya. Aku yakin, mereka akan kembali dengan selamat. Bukankah Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam yang diberikan wahyu dari langit telah bersabda, “Berangkatkan segera pasukan Usamah!’
Tatkala Umar kembali kepada orang banyak, mereka menanyakan bagaimana hasil pembicaraannya dengan khalifah tentang usulnya. Kata Umar, “Setelah saya sampaikan usul kalian kepada Khalifah, belaiu menolak dan malahan saya kena marah. Saya dikatakan sok berani membatalkan keputusan Rasulullah.
Maka, pasukan tentara muslimin berangkat di bawah pimpinan panglima yang masih muda remaja, Usamah bin Zaid. Khalifah Abu Bakar turut mengantarkannya berjalan kaki, sedangkan Usamah menunggang kendaraan.
Kata Usamah, “Wahai Khalifah Rasulullah! Silakan Anda naik kendaraan. Biarlah saya turun dan berjalan kaki. “
Jawab Abu Bakar, “Demi Allah! jangan turun! Demi Allah! saya tidak hendak naik kendaraan! Biarlah kaki saya kotor, sementara mengantar engkau berjuang fisabilillah! Saya titipkan engkau, agama engkau, kesetiaan engkau, dan kesudahan perjuangan engkau kepada Allah. Saya berwasiat kepada engkau, laksanakan sebaik-baiknya segala perintah Rasulullah kepadamu!”
Kemudian dibalas oleh Usamah dengan jawaban yang penuh makna, “Aku menitipkan kepada Allah agamamu, amanatmu juga penghujung amalmu dan aku berwasiat kepadamu untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah.”
Kemudian, Khalifah Abu Bakar lebih mendekat kepada Usamah. Katanya, “Jika engkau setuju biarlah Umar tinggal bersama saya. Izinkanlah dia tinggal untuk membantu saya. Usamah kemudian mengizinkannya.
PADA tahun ke-11 Hijriah, Nabi Muhammad SAW membentuk pasukan untuk memerangi bala tentara Romawi. Sahabat-sahabat senior, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Saad bin Abi Waqqas, dan Abu Ubaidah bin Jarrah, masuk dalam pasukan tersebut.
Para sahabat menanti, siapakah yang akan diangkat Rasulullah SAW memimpin pasukan itu. Abu Bakar dan Umar lebih sering menjadi tangan kanan Rasulullah SAW.
Barang kali Nabi SAW akan menunjuk Saad atau Abu Ubaidah. Siapa pun di antara kedua sahabat itu adalah orang yang dikenal tangkas dan cakap berperang. Di luar dugaan, Nabi SAW justru memilih Usamah bin Zaid yang ketika itu baru berumur 18 tahun. Masih sangat muda.
Usamah lahir tujuh tahun sebelum hijrah. Bapaknya orang yang sangat disayangi Nabi SAW, yaitu Zaid bin Haritsah, yang pernah diangkat anak oleh Nabi SAW, sebelum dilarang oleh Allah SWT. Usamah sebaya dengan Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Bila Hasan duduk di paha Nabi SAW yang sebelah kanan, Usamah diletakkan di paha sebelah kiri. Rasulullah SAW sering berdoa untuk keduanya. ''Ya Allah, saya menyayangi kedua anak ini, maka sayangi pulalah mereka.''
Itulah Usamah bin Zaid, anak muda yang dipercaya Rasulullah SAW menjadi pemimpin pasukan. Rasulullah SAW memerintahkan kepada Usamah, kalau sudah berangkat nanti agar berhenti di Balqa' dan Qal'atud Darum dekat Gaza, yang waktu itu masuk wilayah kekuasaan Romawi Timur.
Sayang, tatkala bersiap-siap untuk berangkat, Rasulullah sakit. Semakin hari sakitnya bertambah berat. Akibatnya, keberangkatan pasukan ditunda. Tidak berapa lama kemudian Rasulullah SAW wafat.
Khalifah Abu Bakar memerintahkan pasukan Usamah segera berangkat melaksanakan perintah Rasulullah SAW. Namun, sekelompok kaum Anshar menghendaki agar pemberangkatan pasukan ditangguhkan.
Mereka meminta Umar bin Khattab yang menyampaikan usul itu kepada Abu Bakar. ''Jika Khalifah bersikeras tetap meneruskan mengirim pasukan, kami mengusulkan sebaiknya panglimanya diganti yang lebih senior dan berpengalaman.''
Usul itu ditolak Abu Bakar dengan tegas, ''Hai Putra Khattab, Rasulullah SAW telah mengangkat Usamah. Engkau tahu itu. Kini, engkau menyuruhku membatalkan putusan Rasulullah SAW. Demi Allah, tidak akan aku batalkan.''
Pasukan Usamah akhirnya dilepaskan. Abu Bakar turut mengantarkannya sambil berjalan kaki ke batas kota. Usamah, sebagai panglima duduk di atas kuda.
Usamah merasa bersalah duduk di atas punggung kuda, sementara khalifah berjalan kaki. Lalu beliau mengusulkan supaya Abu Bakar naik ke kendaraan dan dirinya berjalan kaki.
Tetapi, tawaran itu ditolak Abu Bakar. ''Biarlah kaki saya berdebu mengantar engkau berjuang pada jalan Allah. Laksanakanlah perintah Rasulullah SAW ini dengan sebaik-baiknya,'' ujar Abu Bakar.
Lalu, Abu Bakar mendekat kepada Usamah dan mengajukan sebuah permintaan. ''Jika engkau setuju, biarlah Umar tinggal bersama saya. Izinkanlah dia tinggal untuk membantu saya.''
Subhanallah. Betapa hormatnya Abu Bakar kepada Usamah bin Zaid sekalipun masih sangat muda, tetapi telah mendapatkan amanah dari Rasulullah SAW untuk memimpin pasukan.
Padahal, Abu Bakar seorang khalifah dan kepala negara. Tanpa izin Usamah pun beliau bisa saja meminta Umar tidak ikut pergi berperang.