SEDEKAH YANG MENUNDA AJAL
Dikisahkan, syahdan, seorang jejaka dan gadis datang menemui Sulaiman bin Daud. Nabi Sulaiman pun mengikat keduanya dengan jalinan pernikahan. Lalu, keduanya keluar dari pertemuan tersebut dengan penuh bahagia dan sukacita.
Begitu keduanya keluar dari pertemuan dengan Sulaiman, masuklah malaikat maut menemui Sang Nabi, seraya berkata, ''Wahai Nabi Allah, di tengah sukacita dan keriangan mereka berdua, jangan kaget, karena saya diperintahkan untuk mencabut ruh sang pemuda lima hari setelah ini.''
Sulaiman pun selalu memantau dan mengawasi pemuda itu. Setelah berlalu lima hari, ternyata ia masih hidup. Hingga lima bulan pun, pemuda itu masih hidup juga. Sulaiman merasa heran.
Ketika Sulaiman dihantui keheranan tersebut, datanglah malaikat maut menemui Sulaiman, sambil berkata, ''Hai Sulaiman, jangan terkejut dengan hal itu. Seperti yang sudah saya katakan padamu, saya akan mencabut ruh pemuda tersebut lima hari setelah itu.
Begitu dia keluar dari sisimu, seorang peminta datang menemuinya, dan pemuda itu pun memberinya lima dirham, sambil meminta didoakan agar dia panjang umur. Maka, aku pun diperintahkan untuk menangguhkan hal itu selama lima tahun karena keberkahan sedekah pemuda itu.''
Sebagaimana malam-siang, lelaki-perempuan, kaya dan miskin juga merupakan fenomena alam yang berlaku pada makhluk Allah di muka bumi ini. Orang-orang kaya dan orang-orang miskin akan terus berlahiran dan akan tetap eksis di jagat raya ini.
"Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya." (QS al-Isra' [17]: 30).
Jika fenomena siang-malam sudah mempersembahkan kreasinya yang indah kepada kita sehingga kehidupan ini tidak monoton dan statis, jalinan lelaki dan perempuan sudah membingkai hubungan antarmanusia menjadi penuh warna-warni.
Maka, fenomena kaya dan miskin juga seyogianya menjadi medium untuk merekatkan keduanya dan menjadi jembatan untuk mewujudkan harmoni dalam kehidupan ini.
Islam sudah memberikan sejumlah instrumen untuk menjelmakan nilai-nilai ideal tersebut, misalnya, dengan perintah zakat, kurban, tolong-menolong, dan sedekah.
Nabi pun bersabda, "Sebaik-baik harta yang halal adalah kepunyaan orang yang saleh." (HR Bukhari). Yang begitu mudah untuk disedekahkan dan diberikan kepada banyak orang demi kebaikan.
Di sisi lain, perintah agama ini tidak harus dipahami dan ditangkap sebagai kewajiban belaka. Namun, sang pelakunya juga bakal menuai hikmah yang besar darinya, sebagaimana tersimpul dari narasi di atas, yang dikutip dari kitab Sulwatul Ahzan karya Ibnu Jauzi. Allah juga berfirman, "Dan, kebaikan apa pun yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya untukmu sendiri." (QS al-Baqarah [2]: 272).
Demikian pula sebaliknya, orang yang enggan menjalankan perintah agama dan melanggar larangan bukan hanya pantas diganjar oleh Allah, melainkan masyarakat pun secara alami akan memberinya sanksi. Misalnya, bagaimana muaknya masyarakat terhadap orang yang bakhil, koruptor, pelaku kekejian, dan LGBT. Ingat, kaum Nabi Luth diguyur hujan batu karena tindakan homoseks mereka. (QS asy-Syu'ara [26]: 160-174). Wallahu a'lam bish-shawab.
Begitu keduanya keluar dari pertemuan dengan Sulaiman, masuklah malaikat maut menemui Sang Nabi, seraya berkata, ''Wahai Nabi Allah, di tengah sukacita dan keriangan mereka berdua, jangan kaget, karena saya diperintahkan untuk mencabut ruh sang pemuda lima hari setelah ini.''
Sulaiman pun selalu memantau dan mengawasi pemuda itu. Setelah berlalu lima hari, ternyata ia masih hidup. Hingga lima bulan pun, pemuda itu masih hidup juga. Sulaiman merasa heran.
Ketika Sulaiman dihantui keheranan tersebut, datanglah malaikat maut menemui Sulaiman, sambil berkata, ''Hai Sulaiman, jangan terkejut dengan hal itu. Seperti yang sudah saya katakan padamu, saya akan mencabut ruh pemuda tersebut lima hari setelah itu.
Begitu dia keluar dari sisimu, seorang peminta datang menemuinya, dan pemuda itu pun memberinya lima dirham, sambil meminta didoakan agar dia panjang umur. Maka, aku pun diperintahkan untuk menangguhkan hal itu selama lima tahun karena keberkahan sedekah pemuda itu.''
Sebagaimana malam-siang, lelaki-perempuan, kaya dan miskin juga merupakan fenomena alam yang berlaku pada makhluk Allah di muka bumi ini. Orang-orang kaya dan orang-orang miskin akan terus berlahiran dan akan tetap eksis di jagat raya ini.
"Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya." (QS al-Isra' [17]: 30).
Jika fenomena siang-malam sudah mempersembahkan kreasinya yang indah kepada kita sehingga kehidupan ini tidak monoton dan statis, jalinan lelaki dan perempuan sudah membingkai hubungan antarmanusia menjadi penuh warna-warni.
Maka, fenomena kaya dan miskin juga seyogianya menjadi medium untuk merekatkan keduanya dan menjadi jembatan untuk mewujudkan harmoni dalam kehidupan ini.
Islam sudah memberikan sejumlah instrumen untuk menjelmakan nilai-nilai ideal tersebut, misalnya, dengan perintah zakat, kurban, tolong-menolong, dan sedekah.
Nabi pun bersabda, "Sebaik-baik harta yang halal adalah kepunyaan orang yang saleh." (HR Bukhari). Yang begitu mudah untuk disedekahkan dan diberikan kepada banyak orang demi kebaikan.
Di sisi lain, perintah agama ini tidak harus dipahami dan ditangkap sebagai kewajiban belaka. Namun, sang pelakunya juga bakal menuai hikmah yang besar darinya, sebagaimana tersimpul dari narasi di atas, yang dikutip dari kitab Sulwatul Ahzan karya Ibnu Jauzi. Allah juga berfirman, "Dan, kebaikan apa pun yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya untukmu sendiri." (QS al-Baqarah [2]: 272).
Demikian pula sebaliknya, orang yang enggan menjalankan perintah agama dan melanggar larangan bukan hanya pantas diganjar oleh Allah, melainkan masyarakat pun secara alami akan memberinya sanksi. Misalnya, bagaimana muaknya masyarakat terhadap orang yang bakhil, koruptor, pelaku kekejian, dan LGBT. Ingat, kaum Nabi Luth diguyur hujan batu karena tindakan homoseks mereka. (QS asy-Syu'ara [26]: 160-174). Wallahu a'lam bish-shawab.